Polemik Naik Motor-Sandal Jepit, Pakar Singgung Pro Kontra Pakai Helm

Ilustrasi sandal jepit (Istimewa/Google)
Ilustrasi sandal jepit (Istimewa/Google)

seputarjogja.id, Yogyakarta – Larangan penggunaan sandal jepit saat berkendara motor masih menjadi polemik hingga kini. Imbauan Korps Lalu Lintas Kepolisian RI ini tentunya demi keamanan dan keselamatan para pengendara sepeda motor.

Pakar teknik lalu lintas dan teknik transportasi UGM, Dr. Ir. Dewanti., M.S., memberikan pendangan yang sama. Menurutnya, imbauan tersebut memang bertujuan untuk melindungi sekaligus menjaga keselamatan diri pengendara sepeda motor.

Bacaan Lainnya

Sejauh ini banyak yang menilai bahwa sepeda motor sebagai the most dangerous circle. Kecelakaan yang melibatkan kendaraan bermotor sangat berbahaya.

“Kenapa, jika terjadi insiden sangat rentan mencederai pengendara atau penumpangnya. Kesenggol pastinya langsung badan, jatuh juga langsung berbenturan, berbeda dengan mobil yang ada bodi pelindungnya,” ujarnya, di kampus UGM, Senin (20/6), dilansir website UGM.

Soal keamanan dan keselamatan pengendara sepeda motor ini memang telah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 tahun 2019 pasal 4. Dalam pasal tersebut dijelaskan mengenai pemenuhan aspek keselamatan yang harus memenuhi sejumlah aspek. Khusus untuk pengemudi, ada beberapa hal yang harus dipatuhi, antara lain memakai jaket dengan bahan yang dapat memantulkan cahaya disertai dengan identitas pengemudi, menggunakan celana panjang, menggunakan sepatu, menggunakan sarung tangan dan membawa jas hujan.

Sehingga dengan aturan tersebut sebenarnya tidak ada lagi alasan bagi pengendara sepeda motor untuk tak menggunakan alas kaki yang layak saat berkendara. Pemotor wajib menggunakan sepatu apabila tidak ingin celaka di jalan.

Meski begitu, kata Dewanti, tidak serta-merta aturan tersebut menjadi aturan yang harus segera diberlakukan di masyarakat. Untuk pemberlakuannya perlu waktu dan proses sosialisasi terlebih dahulu.

Seperti implementasi pemakaian helm beberapa tahun lalu, untuk pemberlakuan aturan tersebut butuh waktu yang lama. Bahkan di awal-awal soal helm sebagai pelindung kepala menimbulkan pro kontra di masyarakat.

“Ada yang beralasan panas, sumuk, jika sanggulan tidak bisa dan lain-lain. Proses penyadaran butuh waktu dan pada akhirnya sekarang sudah lumayan untuk pengguna helm ini, jika di awal-awal dulu mungkin masih sekitar 70 persen, kini hampir 98-99 persen apalagi di perkotaan,” jelasnya.

Dewanti mengakui menyangkut keselamatan diri ini di masyarakat Indonesia memang belum begitu baik dibanding di negara-negara yang memiliki sistem transportasi yang sudah baik. Oleh karena itu, diperlukan konsistensi dan kontinuitas dari pihak kepolisian dan pihak-pihak lain terkait keselamatan berkendara ini.

Meski keselamatan menjadi prioritas, ia berharap pemberlakukan terhadap aturan ini nantinya bisa secara bertahap. Membangun kesadaran terkait keselamatan diri memang harus saling bersinergi. Tidak hanya soal bagaimana perilaku mengemudi harus baik dan alat-alat perlindungan diri, hal lain yang juga harus disiapkan adalah kondisi kendaraan, kondisi infrastruktur jalan dan sistim berlalu lintas di jalan yang juga menjamin keselamatan.

“Namanya kecelakaan di perkotaan memang lebih didominasi oleh keterlibatan sepeda motor. Ini bisa dipahami karena jumlah sepeda motor paling banyak dibanding yang lain, dan yang paling banyak menjadi korban kecelakaan adalah mereka yang usia muda antara 20-45 tahun, kelompok-kelompok usia muda dan produktif,” terangnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *