Sejarah Kesultanan Jogja Bergabung dengan NKRI

dok. kratonjogja.id
dok. kratonjogja.id

seputarjogja.id, Yogyakarta – Sepenggal piagam di bawah ini menjadi catatan sejarah atas sikap tegas Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam mendukung lahirnya Republik Indonesia. Piagam tersebut lahir segera setelah Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan telegram ucapan selamat sekaligus dukungan begitu beliau mendengar diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia.

Berikut ini sepenggal isi piagam tersebut:

Bacaan Lainnya

Kami Presiden Republik Indonesia, menetapkan: Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati ing Ngalaga Abdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Kaping IX ing Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya, dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kanjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia

Jakarta, 19 Agustus 1945

Presiden Republik Indonesia

ttd
Soekarno.

Sejak dari awal, Kesultanan Yogyakarta terikat oleh kontrak politik dengan pemerintah kolonial Belanda. Setiap calon sultan yang hendak naik takhta harus mendapat restu dan menandatangani kontrak politik dengan pihak pemerintah kolonial. Ini dilakukan pemerintah kolonial agar Yogyakarta tetap dalam kendali kekuasaannya.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX Naik Takhta
Terkait dengan kontrak politik ini pula, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mencatatkan sejarah tersendiri saat hendak dinobatkan. Nyaris selama tiga bulan proses tersebut berjalan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX kukuh berkehendak agar pengaruh kekuasaan kolonial berkurang, bahkan hilang, dari lingkungan Keraton Yogyakarta. Tiga tuntutan utama beliau adalah: tidak setuju jabatan patih merangkap sebagai pegawai kolonial; menolak penasehatnya ditentukan oleh Belanda; menolak permintaan agar pasukan keraton mendapat perintah langsung dari pemerintah kolonial.

Meskipun akhirnya kontrak tersebut ditandatangani, setelah beliau mendapat ilham bahwa kekuasaan Belanda di Jawa akan berakhir, beliau masih teguh pada pendiriannya. Sikap ini juga tampak pada pidato beliau saat acara penobatan, 18 Maret 1940. “Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, tetapi pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa”. Tidak hanya sampai situ, di akhir pidatonya beliau menyebutkan, “Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memenuhi kepentingan nusa dan bangsa”. Janji inilah yang kemudian selalu beliau taati dan penuhi.

Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), sikap beliau tidak berubah. Beliau menyampaikan ke utusan Jepang bahwa beliau hanya mau ditemui di kantor. Sikap ini berbeda jauh dengan sikap raja-raja yang lain. Banyak pihak melihat beliau bersikap menutup diri dari kemungkinan bekerjasama dengan pihak Jepang. Namun sesungguhnya beliau sedang menjalani politik diplomasi yang halus, dengan tetap menjaga posisi dan wibawa sebagai penguasa Jawa.

Pada masa ini pula Sri Sultan memutuskan menghapus jabatan patih agar beliau dapat memengang kekuasaan atas kesultanan secara penuh.

Baca Juga: Sejarah Grand Hotel de Djokja

Kemerdekaan Republik Indonesia
Sehari setelah mendengar diproklamasikannya Republik Indonesia, beliau bersama dengan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim telegram ucapan selamat dan pernyataan dukungan terhadap Republik Indonesia.

Pernyataan tersebut kemudian disusul dengan maklumat resmi berisi pernyataan penggabungan diri Kesultanan Yogyakarta ke dalam pemerintahan Indonesia.

Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:

Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.

Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.

Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.

Ngajogjakarta Hadiningrat,

28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945

Namun rupanya pemerintah Belanda masih ingin menguasai nusantara dengan cara melakukan berbagai aksi militer. Keadaan ini membuat para pemimpin negara kesulitan menjalankan pemerintahan di Jakarta. Mensikapi keadaan itu, pada Januari 1946 Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengundang para pemimpin Republik Indonesia untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Yogyakarta. Dengan menaiki kereta api yang berjalan dalam gelapnya malam, rombongan pembesar negara mengungsi ke Yogyakarta.

Atas usul Sri Sultan Hamengku Buwono IX pula, Yogyakarta kemudian menjadi ibukota republik. Selama berada di Yogyakarta, seluruh biaya operasional, akomodasi, hingga gaji pejabat negara Indonesia ditanggung sepenuhnya oleh Keraton Yogyakarta.

Agresi Militer Belanda
Perundingan demi perundingan dan persetujuan gencatan senjata berlangsung setelah itu. Pada 21 Juli 1947, Pemerintah Belanda melanggar perjanjian yang telah disepakati dengan melancarkan serangan militer secara besar-besaran untuk menekan bahkan menghapus Indonesia. Peristiwa ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I. Perundingan kembali dilakukan dan sekali lagi pemerintah Belanda kembali melancarkan serangan pada 19 Desember 1948 yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II.

Yogyakarta akhirnya jatuh. Bung Karno yang memilih untuk tidak ikut bergerilya bersama Jendral Soedirman, ditawan dan dibuang oleh Belanda. Sri Sultan Hamengku Buwono IX akhirnya mengisi kekosongan pemimpin pemerintahan, satu hal yang luput dari perhitungan Belanda.

Pihak Belanda yang masih cukup yakin bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX bisa dibujuk, menawarkan jabatan sebagai kepala negara Jawa yang kekuasaannya meliputi seluruh Jawa dan Madura. Sebuah cakupan wilayah yang melebihi kekuasaan Mataram sekalipun. Tawaran ini sama sekali tidak digubris oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Secara politik, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII meletakkan jabatan mereka sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, selama masa pendudukan Belanda ini. Langkah ini diambil sebagai wujud pernyataan bahwa segala sesuatu yang terjadi di Yogyakarta adalah tanggung jawab pemerintah Belanda yang menguasainya.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang nampaknya hanya diam di dalam keraton, nyatanya secara rapi mengatur perlawanan. Perintah disampaikan dari mulut ke mulut, menyebar ke seluruh penduduk Yogyakarta hingga ke para prajurit TNI yang bergerilya. Pada saat inilah beliau menyampaikan instruksi kepada para pegawai Pamong Praja supaya membantu TNI.

Pada saat genting ini pula, Panglima Besar Soedirman memberikan Perintah Kilat No. 1/PB/D/48. Inti dari perintah kilat ini adalah perubahan strategi perlawanan linear menjadi strategi perlawanan gerilya. Pasukan Republik menarik diri dari dalam kota menuju desa-desa untuk mendirikan basis perlawanan.

Baca Juga: Sultan HB X Usulkan 1 Maret Hari Besar Nasional

Serangan Umum 1 Maret dan Kekalahan Diplomasi Belanda
Sri Sultan Hamengku Buwono IX terus memantau perkembangan situasi melalui radio. Dari situlah beliau mendapatkan kabar bahwa PBB akan melaksanakan sidang yang salah satunya akan membahas masalah Indonesia-Belanda pada akhir Februari 1949. Pada saat yang bersamaan pula, pemerintah Belanda mengundang wakil-wakil negara KTN (Komisi Tiga Negara) untuk menyaksikan kondisi Yogyakarta dan membuktikan klaim mereka bahwa RI sudah tidak ada.

Mengetahui hal ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendapatkan ide agar TNI melakukan serangan besar-besaran untuk membuktikan kesalahan klaim pemerintah Belanda. Melalui kurir beliau mengirim surat kepada Panglima Soedirman. Panglima Soedirman kemudian mengutus Letkol Soeharto untuk membahas lebih detil mengenai rencana serangan tersebut.

Secara rahasia, Letkol Soeharto yang menyamar sebagai Abdi Dalem dibawa menghadap Sri Sultan Hamengku Buwono IX di keraton.

Pembicaraan tersebut menghasilkan keputusan melakukan serangan besar-besaran yang akan diadakan pada 1 Maret 1949. Tepat setelah sirine pukul 06.00 sebagai tanda berakhirnya jam malam berbunyi, prajurit TNI bersatu padu dengan Polisi, Tentara Pelajar dan Lasykar Rakyat serentak melakukan serangan. Pukul 12.00, serangan dihentikan karena tujuan politis dari serangan ini telah tercapai.

Kabar yang menunjukkan keberadaan kekuatan Indonesia ini sampai ke PBB. Setelah melakukan sidang kembali, PBB akhirnya memutuskan untuk mengembalikan pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta dan menyelenggarakan Konferensi Den Haag untuk penyelesaian akhir.

Setelah datang bala bantuan dari Magelang dan Semarang, pihak Belanda yang merasa kecolongan mengarahkan moncong-moncong tank ke arah keraton, persis di depan pintu keraton. Semua itu dilakukan berbekal tuduhan bahwa ada tembakan dari arah keraton.

Menghadapi gertakan tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan bahwa tuduhan tersebut tidak benar. Ia mempersilakan prajurit Belanda untuk memeriksa, “Sebelum Belanda datang, Yogyakarta sudah teratur. Kalau sekarang menjadi kacau, mengapa saya yang harus memperbaiki? Kalau Tuan-Tuan ingin memperlakukan keraton seperti ketika tentara Belanda merampas semua arsip-arsip saya di Kepatihan, lebih baik bunuh saya terlebih dahulu”.

Pasukan Belanda tidak berkutik di hadapan kata-kata tersebut karena pada awalnya mereka datang dengan dalih menyelamatkan sultan. Mereka kemudian menarik mundur pasukannya.

Sementara itu pemerintah Indonesia dan Belanda melakukan perjanjian Roem-Royen, perjanjian yang menyerahkan kembali pemerintahan Indonesia ke Yogyakarta. Saat itulah Presiden Soekarno memberikan mandat kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk memegang tampuk kekuasaan. Surat penetapan ini bertanggal 1 Mei 1949 di Bangka.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai kepala negara merapikan kembali struktur organisasi pemerintahan serta membangun kembali Kepolisian Negara. Beliau juga mengatur penarikan mundur pasukan Belanda serta mempersiapkan penyambutan kembalinya pemimpin-pemimpin Republik Indonesia yang ditawan, termasuk kedatangan Panglima Besar Soedirman yang akan kembali dari gerilyanya.

Pada tanggal 30 Juni 1949, Sri Sultan Hamengku Buwono IX kembali mengeluarkan proklamasi kemerdekaan sebagai upaya agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan sebelum kembalinya Soekarno-Hatta dan para pimpinan lainnya ke Yogyakarta. Proklamasi tersebut berbunyi,

Pada hari Kamis tanggal 30 Juni 1949 kekuasaan pemerintah di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta kembali di tangan pemerintah Republik Indonesia, yang berkedudukan lagi di Ibu Kota Yogyakarta.

Atas penetapan Paduka Yang Mulia Presiden, Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia, maka buat sementara waktu kekuasaan pemerintah republik, baik sipil maupun militer, di Daerah Istimewa Yogyakarta dipegang dan dijalankan oleh Menteri Negara Koordinator Keamanan dengan dibantu oleh segala badan pemerintahan dan alat kekuasaan serta pegawai negeri yang ada dan yang akan datang di Daerah Istimewa Yogyakarta

Segala badan dan peraturan negara Republik Indonesia yang ada sebelum hari dan tanggal pengembalian kekuasaan di tangan pemerintah Republik Indonesia, langsung berlaku selama tidak diadakan ketentuan lain.

Setelah keadaan mengizinkan, maka segera Paduka Yang Mulia Presiden, Paduka Yang Mulia Wakil Presiden serta anggota-anggota pemerintah Republik Indonesia lainnya akan kembali ke Yogyakarta.

Yogyakarta, 30 Juni 1949
Atas nama Presiden Republik Indonesia,
Menteri Negara Koordinator Keamanan,

Hamengku Buwono IX

Demikianlah perjalanan Kesultanan Yogyakarta menggabungkan diri ke dalam Republik Indonesia sekaligus mengawal serta menyelamatkan kemerdekaan negara yang baru saja lahir tersebut.

*) sumber: website kratonjogja.id, dikutip Senin 17 Januari 2022

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *