seputarjogja.id, Jogja – Masjid Syuhada berada di Kotabaru, Kota Jogja. Keberadaan masjid ini memiliki sejarah panjang.
Dikutip dari laman BPCB Jogja, perkembangan sejarah Masjid Syuhada tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangaan pejuang Indonesia melawan tentara pendudukan Jepang. Peristiwa itu telah memakan korban 21 orang pejuang yang sekarang namanya diabadikan menjadi nama jalan di kawasan Kotabaru.
Pembangunan masjid ini pada awalnya bertujuan sebagai monumen sejarah para syuhada yang gugur pada waktu itu. Namun seiring dengan kebutuhan akan tempat peribadatan, maka masjid ini digunakan sebagai tempat ibadah masyarakat muslim di Kotabaru.
Istilah syuhada sudah dikenal masyarakat, artinya orang-orang yang mati syahid atau gugur di jalan Allah. Nama lengkap masjid ini adalah Masjid Peringatan Syuhada. Mengingat terlampau panjang, maka seringkali disebut Masjid Syuhada saja.
Pembangunan Masjid Syuhada dimulai dengan pembentukan panitia pada tanggal 14 Oktober 1949. Peletakan batu pertama dilakukan tanggal 23 September 1950 dan peresmian penggunaan dilakukan pada tanggal 20 September 1952. Jadi sejak peletakan batu pertama sampai peresmiannya, pembangunan masjid ini memakan waktu dua tahun. Tanggal 20 Sepetember 1952 dijadikan tanggal kelahiran (milad) Masjid Syuhada.
Tanah yang akan dibangun masjid merupakan pemberian dari Sultan Hamengku Buwono IX. Tanah ini terletak di sebelah timur Kali Code. Lokasi tanah ini berada di antara dua jembatan yaitu Jembatan Kridonggo (kreteg Kewek) dan Jembatan Gondolayu.
Masjid Syuhada dirancang terdiri atas 3 lantai. Atap masjid sebagai puncak masjid terdapat kupel (mustoko) besar sebagai kubah masjid. Bagian tengah merupakan ruangan untuk shalat dan bagian bawah berupa ruangan yang digunakan sebagai kantor dan perpustakaan masjid.
Baca Juga: Sejarah Berdirinya Keraton Kasultanan Yogyakarta
Sementara itu, dikutip dari laman Pemkot Jogja, pembangunan Masjid Syuhada berawal dari kegiatan pegajian yang diadakan di rumah keluarga Moch. Joeber Prawiroyuwono yang berada di Jalan Ngasem, Kota Jogja. Pengajian itu digelar setelah mundurnya Belanda dari Jogja dan menjelang pemindahan ibu kota negara dari Jogja ke Jakarta.
Pada saat itu, beberapa tokoh yang hadir dengan dipantik oleh Mr. Asaat berpikir tentang kenang-kenangan apa yang pantas dihadiahkan kepada rakyat Jogja. Mereka berpikir bahwa kemerdekaan yang dinikmati Indonesia saat ini tidak terlepas dari perjuangan rakyat Jogja dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang telah menjadikan Jogja sebagai Ibu Kota Revolusi Indonesia.
Berkenaan dengan itu, jauh ketika penjajahan Belanda masih berlangsung, Lapangan Kridosono di Kotabaru dimonopoli oleh Belanda. Lapangan sepak bola tersebut sejatinya adalah lapangan sepak bola terbesar di Jogja. Belanda mempergunakan lapangan tersebut untuk kepentingan klub sepak bola mereka yang bernama Voetbalbond Djokja (VDB). Pribumi yang tinggal di sekitar lapangan bahkan dilarang untuk memasuki area tersebut. Hanya golongan berkebangsaan Belanda yang diperbolehkan untuk memasuki dan memanfaatkan fasilitas tersebut.
Baca Juga: Sejarah Grand Hotel de Djokja
Keadaan berubah ketika Jepang menjajah Indonesia dan mengusir Belanda dari Jogja. Jepang dengan politik dan tipu muslihatnya berupaya untuk mengambil hati rakyat Indonesia. Mereka memberikan kesempatan kepada rakyat Jogja untuk dapat memanfaatkan fasilitas lapangan sepak bola tersebut. Hal itu menjadi dalih Jepang yang mengaku sebagai saudara tua Indonesia. Rakyat Jogja diperkenankan untuk menggunakan lapangan yang ada sebagai sarana hiburan menonton pertandingan sepak bola.
Di tengah-tengah pertandingan sepak bola yang sedang berlangsung, terjadi percakapan antara dua tokoh masyarakat bernama Muhammad Muammal dan H.M Syuja’. Ketika waktu shalat Ashar tiba di antara berlangsungnya pertandingan sepak bola, mereka kesulitan untuk mencari tempat ibadah. Mereka lupa bahwa di daerah Kotabaru belum ada masjid. Bahkan, Gereja Kristen Batak Protestan yang ada di sana dahulu juga sempat dijadikan masjid jami’ untuk shalat Jumat.
Berkenaan dengan dua peristiwa tersebut, maka beberapa tokoh agama dan masyarakat sepakat untuk membangun masjid di Kotabaru sekaligus sebagai hadiah dari pemerintah Indonesia kepada rakyat Jogja.
Baca Juga: Mengenal Apa Itu Sumbu Filosofi Keraton Jogja
Terletak di Jl. I Dewa Nyoman Oka No. 13 Kotabaru, Gondokusuman, Jogja, Masjid Syuhada merupakan masjid pemberian Presiden Soekarno pada para pejuang kemerdekaan yang bertempur di Jogja. Sesuai dengan namanya, Syuhada, berarti pahlawan. Masjid ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan ibadah masyarakat muslim pada umumnya dan secara khusus memberi penghargaan kepada masyarakat muslim di Jogja yang banyak menyumbangkan bagi masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Lebih dari itu, Masjid Syuhada dimaksudkan sebagai monumen guna memperingati para pahlawan yang gugur syahid mempertahankan proklamasi kemerdekaan RI.
Tak hanya itu, Masjid Syuhada juga terkenal dengan sebutan masjid nasionalis, hal ini digambarkan dalam bagian-bagian penting bangunan seperti 17 anak tangga di bagian depan, delapan segi tiang gapuranya dan empat kupel bawah serta lima kupel atas.
Baca Juga: As’ad Humam, Kiai Legendaris Muhammadiyah Penemu Metode Iqro’
Keseluruhan bangunan terdiri tiga lantai, di bawah untuk ruangan kuliah, dilengkapi 20 jendela yang diharapkan menjadi peringatan atas 20 sifat Allah SWT. Di lantai dua untuk ruang shalat bagi kaum perempuan, terdapat dua tiang yang seolah-olah menyangga bangunan yang menggambarkan dua buah iktikad manusia. Sedang di lantai tiga sebagai ruang shalat utama, termasuk shalat Jumat di mihrabnya terdapat lima lubang angin yang memberi gambaran sekaligus mengingatkan kepada masyarakat muslim rukun Islam.