Stasiun Tugu, Living Monument Sejak Abad 18

Stasiun Tugu Yogyakarta (dok. BPCB DIY)
Stasiun Tugu Yogyakarta (dok. BPCB DIY)

seputarjogja.id, Yogyakarta – Stasiun Tugu merupakan stasiun besar kedua yang didirikan di Yogyakarta setelah Stasiun Lempuyangan. Stasiun Lempuyangan dibangun oleh perusahaan swasta NISM (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschapij), sedangkan Stasiun Tugu dibangun oleh perusahaan kereta api milik pemerintah yaitu Staatspoorwegen (SS).

Stasiun Tugu Yogyakarta pertama kali dioperasikan untuk umum pada tanggal 12 Mei 1887, yang melayani jalur Yogyakarta-Cilacap. Pembangunan Stasiun Tugu juga erat kaitannya dengan aktivitas perkebunan yang semakin meningkat pascaperang Jawa (1825-1830). Stasiun ini dibangun pemerintah Belanda sebagai sarana transportasi untuk mengangkut komoditas hasil perkebunan dari daerah pedalaman ke daerah pelabuhan. Stasiun Tugu didirikan di atas lahan milik Kesultanan Yogyakarta.

Bacaan Lainnya

Bentuk bangunan Stasiun Tugu Yogyakarta memiliki ciri khas tersendiri. Bangunan stasiun diapit oleh jalur-jalur kereta api dan terowongan bawah tanah yang menghubungkan peron utara dengan peron selatan. Bagian depan bangunan yang sekaligus pintu masuk utama stasiun ini menghadap ke arah timur, tepatnya ke arah jalan Mangkubumi (Margo Utomo) yang merupakan poros Kota Yogyakarta.

Dari awal pembangunannya, Stasiun Tugu terletak di lokasi strategis yang merupakan pusat perekonomian Yogyakarta yaitu daerah Pecinan dan Pasar Beringharjo. Stasiun ini memiliki beberapa bangunan penunjang seperti gudang muat tinggi sisi selatan, bangunan telekomunikasi, bangunan rumah sinyal, pusat reservasi tiket kereta api, bangunan induk stasiun, gedung kantor kas, dipo induk kereta, dipo lokomotif, bengkel lokomotif, gedung muat tinggi sisi utara, bangunan resort jalan, jembatan, dan rel.

Baca Juga: Sejarah Grand Hotel de Djokja

Stasiun Tugu tahun 1890-an (dok. website Dinas Kebudayaan Jogja)
Stasiun Tugu tahun 1890-an (dok. website Dinas Kebudayaan Jogja)

Bangunan induk Stasiun Tugu sejak didirikan telah mengalami beberapa perubahan. Perubahan pertama terjadi pada tahun 1925, yaitu pada bagian entrance hall. Pada awalnya bangunan ini merupakan serambi depan berdenah persegi panjang dengan tiang bergaya Ionia. Pada 1925 kemudian berubah bentuk dengan perluasan ke arah timur dan ditambahkan tiang-tiang persegi yang berjumlah 8 pada bagian tengah bangunan.

Perubahan juga kembali terjadi pada tahun 1927, yakni bagian fasad depan bangunan yang semula bergaya arsitektur klasik diubah menjadi gaya arsitektur Art Deco yang mencerminkan kebesaran, kekuasaan, dan kekuatan.

Arsitektur Stasiun Tugu Bergaya Neo-klasik di Era Kolonial Hindia Belanda (dok. website Dinas Kebudayaan Jogja)
Arsitektur Stasiun Tugu Bergaya Neo-klasik di Era Kolonial Hindia Belanda (dok. website Dinas Kebudayaan Jogja)

Selain melayani aktivitas bongkar muat barang, Stasiun Tugu ini juga melayani aktivitas mobilitas masyarakat. Adanya Stasiun Tugu saat itu berdampak besar bagi Yogyakarta, yaitu semakin terbukanya akses dari luar ke kota Yogyakarta. Indikasi yang terlihat adalah tumbuhnya berbagai sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan ekonomi hingga sosial-budaya. Hal ini tampak di sekitar Stasiun Tugu berdiri bangunan-bangunan seperti: Hotel Toegoe, Grand Hotel de Djokja (Hotel Grand Inna Malioboro), gudang-gudang, serta jaringan jalan yang menghubungkan dengan pusat kota tradisional yakni Keraton Kesultanan Yogyakarta dan kawasan-kawasan indis atau permukiman Belanda di sekitarnya, yaitu Jetis, Kotabaru, dan Bintaran.

Pemerintah kolonial menguasai segala jenis hal yang berhubungan dengan kereta api hingga Maret 1942. Setelah Jepang datang, kekuasaan terhadap kereta api pun berpindah dari Belanda ke Jepang. Jepang menguasai kereta api hingga bulan September 1945. Republik Indonesia baru dapat menguasai kereta api pada 28 September 1945 setelah Angkatan Muda Kereta Api merebut kekuasaan perkeretaapian dari tangan Jepang. Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) kemudian dibentuk untuk mengurus segala hal mengenai kereta api di Indonesia.

Stasiun Tugu sejak saat itu berada di bawah DKARI. Stasiun ini menjadi tempat awal kedatangan rombongan presiden yang hijrah dari Jakarta ke Yogyakarta dengan kereta api pada 4 Januari 1946. Pemindahan kekuasaan ini terjadi lantaran kondisi Jakarta yang sudah tidak kondusif akibat kedatangan tentara Belanda yang membonceng tentara Netherlands-Indies Civil Administration (NICA).

Baca Juga: Hotel di Jogja Ini Pernah Jadi Kantor Konsulat Cina hingga Presiden RI

Sampai dengan tahun 2021, Stasiun Tugu Yogyakarta, praktis menjadi stasiun utama di kota Yogyakarta yang menghubungkan ke berbagai jalur kota lainnya. Oleh karena itu, dapat dikategorikan sebagai bangunan yang masih terus difungsikan sebagaimana peruntukkan awalnya (living monument).

Stasiun Tugu Yogyakarta terletak di Jalan Pasar Kembang, Kelurahan Sosromenduran, Kemantren Gedongtengen, Kota Yogyakarta. Stasiun Tugu Yogyakarta telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya dengan SK Menteri nomor PM.25/PW.007/MKP/2007.

Baca Juga: Wisma Kaliurang, Tempat Perundingan Indonesia-Belanda

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *